Dia #1

0 Comments










Dia termenung di sudut ruangan, di hiruk pikuk suasana café di jam makan siang. Entah kenapa baginya terasa sepi. Seakan dia hidup dalam dunianya sendiri. Segala sesuatu tentang orang itu seakan membiusnya menjadi robot tanpa batere. Semua itu tidak berlangsung dalam waktu yang sebentar. Tak ada mata sembab, tak ada raut kesedihan. Hanya kekosongan.
Seorang waitress menghampirinya. Menanyakan apakah dia ingin memesan sesuatu. Dia hanya menggeleng dengan seulas senyum. Namun bahkan senyum itu pun tak bernyawa. Ketika si waitress sudah berlalu wajah robot itu kembali menghiasi wajah pucat tanpa riasannya.

Sejenak dia menghela nafas panjang dan beringsut menyentuhku yang sudah dikeluarkannya dari tadi tapi didiamkannya. Dia mulai menarikan jari-jarinya diatas tombol-tombol huruf pada tubuhku dan layarku mulai berisi tulisannya seperti biasa. Aku yakin isi tulisannya sama seperti tulisan-tulisan sebelumnya.

Semuanya baik-baik saja minggu-minggu kemarin. Aku bisa bekerja dan beraktivitas tanpa ada gangguan. Kenapa dia harus muncul lagi? Sampai kapan aku harus ketakutan dengan bayang-bayangnya?

Seharusnya semuanya sudah berlalu. Seharusnya aku sudah melupakannya. Tapi kenapa lagi dan lagi ketika dia muncul semua yang sudah teratur dan baik-baik saja menjadi berantakan. Bahkan untuk mengerjakan yang simpel pun nggak bisa.

Tangannya berhenti menari. Ditatapnya lagi tulisan dilayarku. Tiba-tiba tanda panah di layarku bergerak ke sudut kanan atas dan muncul kotak. Tanda panah itu mengarah ke kotak “No” dan tulisan itu lenyap berganti dengan gambar foto dirinya berlatar belakang ombak pantai.Dia menatap lama pada layarku. Namun kali ini bukan tatapan kosong lagi. Aku tak bisa mendiskripsikan tatapannya. Hanya saja yang kutau mata itu menggambarkan kelelahan si empunya. 






You may also like

No comments: