Hari Minggu yang cerah. Seharusnya menjadi hari yang menyenangkan. Hari dimana bisa menghabiskan akhir pekan dirumah atau di luar rumah bersama keluarga. Tapi sepertinya pengecualian bagi rumah dimana aku berada. Teriakan yang sama. Bukan teriakan dengan nada yang menyenangkan dengan canda tawa. Namun sarat emosi. Aku bosan mendengarnya. Seandainya aku bisa, mungkin sudah kututup telinga. Tak ingin mendengar teriakan-teriakan yang berulang sejak beberapa bulan terakhir. Aku bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.
Braakkkk!!!!
Suaraku terbanting.
Seakan menggetarkan seluruh dinding dirumah putih ini. Dihadapanku, bagian yang menghadap ke sebuah ruangan yang biasanya dipenuhi suara televisi, aku bisa melihat seorang wanita berusia empat puluhan hanya bisa menghela nafas. Wajah terlihat letih dan bingung. Sepertinya sudah bosan dengan keadaan yang berulang tanpa tau apa yang harus diperbuat untuk menyelesaikannya.
Dibalik badanku, terdengar isak tangis. Seperti biasa, dia duduk berjongkok di sisi lain tubuhku yang menghadap ke ruangan yang didekorasi warna monocrome, tempat dia biasa tidur atau menghabiskan waktu dengan novel-novel koleksinya dan sesuatu yang dipanggilnya si hitam. Rutinitas yang selalu dia lakukan setelah teriakan-teriakan tak menyenangkan itu kudengar.
Dia beranjak menjauhiku, mendekati tempat tidur berukuran double yang terlihat terlalu besar di ruangan berukuran tiga kali tiga meter persegi. Menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur yang tertutup bed cover warna abu-abu. Beberapa menit kemudian isaknya sudah tak terdengar karena si empunya sudah terlelap. Dan selesailah episode reply kali ini.
Dwitasari :): Kangen :) : Aku kangen. Beneran. Mungkin ini terdengar aneh. Namamu merangsuk masuk ke otakku diatas hapalan Biologi yang terlanjur lebih dulu masuk ke ... (read more)

Ketika membaca ini, rasanya seperti bercermin, lalu cerminnya pecah entah karena apa...



Beberapa  waktu lalu saya nonton film yang diangkat dari novel karya mbak Dewi Lestari dengan judul yang sama seperti novelnya, "Perahu Kertas". Saya memutuskan menonton kedua filmnya karena penasaran bagaimana perwujudan novel luar biasa karya mbak Dee ini menjadi sebuah film layar lebar. Setelah menonton kedua filmnya saya benar-benar merasakan taste dari kisah ini.

Sebenarnya ada suatu cerita dibalik kisah ini. (Bingung ya maksudnya?) Alasan kenapa novel ini sangat berkesan buat saya karena saya terlibat dengan orang-orang yang berkarakter dan berprofesi mirip dengan yang ada didalam novel. Mungkin suatu kebetulan. Tapi dari seribu satu kesempatan yang diambil secara acak yang disebut kebetulan itulah hidup saya berubah. Banyak hal yang bisa saya ambil pelajaran dari peristiwa tersebut. Meskipun tidak sedikit rasa sakit yang harus saya bayar untuk itu.










Dia termenung di sudut ruangan, di hiruk pikuk suasana café di jam makan siang. Entah kenapa baginya terasa sepi. Seakan dia hidup dalam dunianya sendiri. Segala sesuatu tentang orang itu seakan membiusnya menjadi robot tanpa batere. Semua itu tidak berlangsung dalam waktu yang sebentar. Tak ada mata sembab, tak ada raut kesedihan. Hanya kekosongan.
Seorang waitress menghampirinya. Menanyakan apakah dia ingin memesan sesuatu. Dia hanya menggeleng dengan seulas senyum. Namun bahkan senyum itu pun tak bernyawa. Ketika si waitress sudah berlalu wajah robot itu kembali menghiasi wajah pucat tanpa riasannya.

Sejenak dia menghela nafas panjang dan beringsut menyentuhku yang sudah dikeluarkannya dari tadi tapi didiamkannya. Dia mulai menarikan jari-jarinya diatas tombol-tombol huruf pada tubuhku dan layarku mulai berisi tulisannya seperti biasa. Aku yakin isi tulisannya sama seperti tulisan-tulisan sebelumnya.

Semuanya baik-baik saja minggu-minggu kemarin. Aku bisa bekerja dan beraktivitas tanpa ada gangguan. Kenapa dia harus muncul lagi? Sampai kapan aku harus ketakutan dengan bayang-bayangnya?

Seharusnya semuanya sudah berlalu. Seharusnya aku sudah melupakannya. Tapi kenapa lagi dan lagi ketika dia muncul semua yang sudah teratur dan baik-baik saja menjadi berantakan. Bahkan untuk mengerjakan yang simpel pun nggak bisa.

Tangannya berhenti menari. Ditatapnya lagi tulisan dilayarku. Tiba-tiba tanda panah di layarku bergerak ke sudut kanan atas dan muncul kotak. Tanda panah itu mengarah ke kotak “No” dan tulisan itu lenyap berganti dengan gambar foto dirinya berlatar belakang ombak pantai.Dia menatap lama pada layarku. Namun kali ini bukan tatapan kosong lagi. Aku tak bisa mendiskripsikan tatapannya. Hanya saja yang kutau mata itu menggambarkan kelelahan si empunya.